Orang yang menggunakan sagu sebagai sumber pangan kembali bangkit. Masyarakat, mulai menghidupkan lagi popeda—makanan dari sagu– dan pemanfaatan sagu makin tinggi. Kini, dalam berbagai acara, popeda selalu menghiasi meja makan.
Nyong Arafat Baay selaku petani dan pengolah sagu mengatakan, memanen batang sagu dengan kearifan demi menjaga kelestarianSangat berhati-hati saat penebangan. Jangan sampai merusak sagu yang baru tumbuh. Panen batang sagu tak sembarangan.
Pohon Sagu merupakan sumber mata pencarian masyarakat kec.Kao Kab. Halmahera Utara Provinsi maluku utara.Ada yang tebang dan potong batang sagu jadi beberapa bagian. Ada juga yang mengangkut batang sagu yang telah dipotong-potong. Juga ada yang bertugas membelah dan membersihkan pokok sagu dari korteks atau kulitnya,” kata Nyong Arafat Baay
Setelah dipotong , batang sagu belah lagi jadi bagian lebih kecil dan dibersihkan. Kemudian, masukkan ke mesin penggilingan dan penghalusan untuk akhirnya dapatkan tepung sagu.Tanaman sagu di desa ini terbilang banyak dan jadi kebutuhan pangan sehari- hari tetapi hanya sedikit yang mengolahnya.
Dia cerita, dalam satu batang sagu setinggi mencapai 20 meter, bisa menghasilkan pati sagu sampai 10 karung. Satu karung, katanya, berisi 25 kg dengan harga Rp350.000-Rp375.000.
“Awalnya, tepung sagu per karung Rp350.000, tapi seiring kenaikan harga bahan pokok akibat kenaikan BBM (bahan bakar minyak), naik jadi Rp375.000.”
katanya, sagu sangat menjanjikan baik untuk pangan maupun peningkatan ekonomi keluarga.Dulu, masyarakat penuhi pangan pokok dari sagu, kini mulai berkurang, sebagian penuhi dengan beras.
Nyong Arafat Baay mengungkapkan, sekitar 1980- an, bahan pangan utama mereka adalah sagu. Kalau ada acara kawinan atau pesta apapun, mereka pasti pergi mengolah sagu terlebih dahulu.
“Tapi saat ini pangan digantikan beras, sagu mulai ditinggalkan.”Kebangkitan sagu
Meski begitu, Nyong Arafat Baay, senang terjadi kebangkitan gunakan sagu. Masyarakat, katanya, mulai menghidupkan lagi popeda—makanan dari sagu– dan pemanfaatan sagu makin tinggi. Kini, katanya, dalam berbagai acara, popeda selalu menghiasi meja makan.
“Prospeknya ke depan makin menjanjikan. Empat tahun ini saya mengolah sagu dan jual sangat laku. Tapi agak mengkhwatirkan karena pengolah sagu sangat sedikit,”
Pada 1980-an, petani pengolah sagu banyak. “Sekarang tersisa sedikit.”
Dia juga cerita awal usahanya. Sekitar 1990an ada membeli mesin sagu bekas dia beli dari warga sekampung sekitar Rp25 juta.
“Saya mulai olah satu batang sagu. Dipotong -potong batang sekitar 60 centimeter. Satu batang sagu dapat 30 potong kecil, hasilkan 10 karung,” katanya, seraya bilang harga per karung Rp350.000.Dalam seminggu bisa dia olah tiga batang sagu, sebulan sekitar ada 12 batang. Kalau satu batang hasilkan 10 karung sagu, berarti sekitar Rp5 juta.
Jika dikalikan 12 berarti dalam sebulan uang dari hasil olah sagu rata- rata Rp50-Rp60 juta. Ini pendapatan kotor belum dikurangi operasional tiga karung.”
Tahun 1990 an di Kec.Kao Kab.Halmahera Utara dibangun Pabrik sagu dengan sewa menyewa lahan Atas nama Hadji Umar Saleh Baay lebih kurang 20 Hektar,dengan Gak Guna Usaha (HGU) No.196/1971 P.M.A No.6/1965 pendaftaran Sertifikat Hak milik No.100 Surat ukur G.S/471 Tahun 1984.
Ketua DPW Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (FABEM) Sumatera Rinno Hadinata S.sos salah satu cucu ahli waris menuturkan agar Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto bersama kementrian terkait dapat membangun kembali Budi daya tanaman Sagu yang sudah hampir punah.tanaman Sagu ini bisa menjadi primadona ekspor ke luar negeri.
Rinno bersama keluarga ahli waris bersedia untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk mendukung Program kerja Ketahanan Pangan.mewujudkan swasembada pangan yang bukan hanya beras saja.dibarengi denga Eco wisata di daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar