Iklan

DAFTAR WARTAWAN DISINI oleh redaksi investigasi
Mr w
Selasa, 21 Oktober 2025, Oktober 21, 2025 WIB
Last Updated 2025-10-21T15:34:25Z

Benarkah Izin Cut and Fill di Batam Sulit? Setiap Proyek Selalu Dituding Ilegal


Batam, investigasi.info —Setiap kali ada kegiatan cut and fill di Kota Batam, publik hampir pasti disuguhi headline bernada serupa: “Diduga tak berizin.” Fenomena ini seolah menjadi pola tetap di kota industri dan investasi ini. Padahal, aktivitas cut and fill- atau penimbunan dan pemotongan lahan- adalah tahap awal penting dalam setiap proyek konstruksi.


Pertanyaannya, mengapa hampir semua pekerjaan cut and fill di Batam selalu dicurigai tidak memiliki izin? Apakah pengurusan izinnya memang sesulit itu, atau justru ada persoalan transparansi dan koordinasi antarinstansi yang belum berjalan baik?


Beberapa pelaku usaha di Batam mengakui bahwa izin cut and fill memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Prosesnya melibatkan berbagai lembaga, mulai dari BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), hingga pihak kecamatan dan kelurahan setempat. Selain izin teknis, pelaku usaha juga wajib melampirkan dokumen Amdal atau UKL-UPL, izin lingkungan, serta rekomendasi dari instansi pertanahan. Proses birokrasi yang panjang inilah yang kerap membuat proyek tertunda atau bahkan berjalan lebih dulu sambil menunggu izin turun- yang akhirnya menimbulkan kesan “ilegal”.


Padahal, aturan mengenai kegiatan cut and fill sudah diatur cukup jelas oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Kemudian, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan setiap aktivitas yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan untuk memiliki dokumen Amdal, UKL-UPL, atau SPPL.


Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mempertegas bahwa izin lingkungan kini terintegrasi dalam sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS-RBA). Di tingkat lokal, BP Batam mengatur mekanisme teknis melalui Peraturan Kepala BP Batam Nomor 16 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemanfaatan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan, sedangkan Pemerintah Kota Batam mengatur teknis lapangan lewat Peraturan Wali Kota Batam Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pedoman Teknis Penimbunan, Pemotongan, dan Pengurugan Tanah.


Dengan dasar hukum tersebut, setiap pelaku usaha sebenarnya sudah memiliki jalur legal untuk mengurus izin cut and fill. Namun, dalam praktiknya, proses pengurusan sering kali tersendat karena verifikasi teknis antarinstansi yang tidak seragam. “Kadang izin lahan sudah keluar, tapi dokumen lingkungan masih proses. Sementara waktu proyek sudah harus berjalan,” ujar salah satu kontraktor di Batam yang enggan disebutkan namanya.


Di sisi lain, masyarakat kerap menganggap proyek cut and fill identik dengan perusakan lingkungan. Setiap ada alat berat bekerja di kawasan perbukitan, publik langsung menuding adanya pelanggaran izin atau kerusakan alam. Padahal, tidak semua aktivitas tersebut melanggar aturan. Banyak proyek resmi yang justru menjadi bagian dari pengembangan kawasan industri, perumahan, atau infrastruktur sesuai rencana tata ruang.


Masalah sebenarnya terletak pada keterbukaan informasi. Publik jarang mendapatkan akses terhadap data perizinan yang lengkap, sehingga sulit membedakan mana proyek yang legal dan mana yang tidak. Hal ini kemudian memicu munculnya opini liar di media dan masyarakat.


Pemerintah Kota Batam dan BP Batam kini didorong untuk membenahi sistem perizinan agar lebih transparan dan mudah diakses. Sistem satu pintu berbasis daring dinilai menjadi solusi untuk menghindari tumpang tindih antarinstansi serta membuka akses publik terhadap status perizinan proyek.


Regulasi juga memberikan sanksi tegas bagi pelaku yang melanggar. Proyek cut and fill tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan, pencabutan izin, atau denda. Jika ditemukan unsur pidana lingkungan, ancamannya bisa mencapai tiga tahun penjara dan denda hingga Rp3 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 dan 111 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.


Fenomena “cut and fill diduga tanpa izin” di Batam pada akhirnya bukan sekadar isu hukum, tetapi juga soal kepercayaan publik dan koordinasi birokrasi. Selama proses izin masih panjang dan informasi tidak terbuka, setiap proyek akan terus dicurigai ilegal. Kota Batam memerlukan sistem izin yang cepat, transparan, dan dapat diakses publik agar pembangunan tidak lagi diselimuti stigma dan kecurigaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar