Karimun, investigasi. Info — Hamparan bukit di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, kini menampakkan wajah yang berbeda. Di beberapa titik, terutama di kawasan tambang PT Karimun Granite, bukit-bukit yang dulu hijau kini tampak gersang, terkupas, dan berlubang besar akibat aktivitas penambangan granit yang berlangsung puluhan tahun.
Karimun dikenal sebagai daerah penghasil granit terbesar di Indonesia dengan tujuh perusahaan tambang yang masih beroperasi hingga kini. Namun, di balik kebanggaan industri ini, tersimpan kekhawatiran besar terhadap masa depan lingkungan. Dari tahun ke tahun, kontur alam Karimun terus berubah — bukit-bukit dipangkas, tanah subur hilang, dan meninggalkan luka ekologis yang kian sulit disembuhkan.
Secara ekologis, kerusakan akibat tambang granit berbeda dengan tambang tanah atau pasir. Ketika batu granit diambil, permukaan bumi kehilangan lapisan topsoil yang menjadi dasar kehidupan vegetasi. Tak ada lagi struktur tanah yang bisa menahan air atau menjadi tempat tumbuhnya akar pohon. Bekas tambang yang berlubang besar dan keras membuat upaya reboisasi hampir mustahil dilakukan tanpa rekayasa ekologis yang rumit.
Aktivis lingkungan menilai, Karimun menghadapi ancaman serius jika tidak segera dilakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh. Menurut mereka, reboisasi di kawasan tambang granit memerlukan pendekatan ilmiah dan keseriusan politik, bukan sekadar formalitas administratif.
“Reboisasi bukan menanam lalu difoto untuk laporan,” ujar salah satu aktivis lingkungan nasional kepada investigasi.info . “Harus ada kehidupan yang tumbuh kembali. Kalau bekas tambang granit dibiarkan berlubang tanpa penanganan, kita sedang menyiapkan bencana ekologis di Karimun.”
Kondisi bukit yang habis digali juga berdampak pada keseimbangan alam. Saat musim hujan, air tidak lagi terserap oleh tanah dan berisiko memicu longsor serta banjir lumpur di wilayah bawah. Sementara di musim kemarau, wilayah yang kehilangan vegetasi alami akan lebih panas, kering, dan rentan terhadap krisis air.
Hingga kini, belum terlihat langkah besar dari pemerintah daerah maupun perusahaan tambang dalam menjalankan rehabilitasi dan reklamasi pascatambang. Padahal, sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, setiap perusahaan wajib memulihkan kembali lahan tambang sebelum operasi berakhir.
Pemerhati lingkungan menegaskan bahwa jika situasi ini dibiarkan, Karimun berisiko kehilangan identitas geografis dan ekologisnya. Bukit-bukit yang dahulu menjadi kebanggaan dan penanda alam akan berubah menjadi deretan tebing batu mati, sementara masyarakat setempat harus menanggung dampak lingkungan dalam jangka panjang.
Kini, masa depan Karimun bergantung pada keberanian pemerintah daerah dan kesadaran industri tambang untuk mengambil langkah nyata. Tanpa komitmen bersama, bukan tidak mungkin satu dekade ke depan, pulau yang kaya akan granit ini hanya akan menyisakan cerita — tentang bagaimana sebuah daerah yang makmur dari tambang, perlahan kehilangan alam yang menjadi sumber kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar