Program “Gempur Rokok Ilegal” dinilai hanya slogan. Pengawasan lumpuh, pemodal besar bebas beraksi, pedagang kecil jadi kambing hitam.
Batam, investigasi. Info — Slogan “Gempur Rokok Ilegal” yang kerap digaungkan Bea Cukai Batam kini dianggap tak lebih dari jargon kosong. Fakta di lapangan memperlihatkan sebaliknya: produk rokok tanpa pita cukai seperti HD, OFO, dan T3 masih beredar bebas di kios dan pasar tradisional, bahkan disebut-sebut telah menyeberang hingga ke wilayah Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana peran pengawasan Bea Cukai Batam?
Alih-alih memberantas, banyak pihak justru menilai aparat fiskal tersebut telah kehilangan taring dan kepercayaan publik.
> “Selama bertahun-tahun rokok ilegal dibiarkan beredar. Yang jadi korban justru pedagang kecil, sementara pemodal besar tetap aman. Ini bukan penegakan hukum, tapi pertunjukan semu,” ujar seorang aktivis ekonomi Kepri yang meminta namanya dirahasiakan.
Fenomena berlarutnya peredaran rokok ilegal di Batam dinilai mustahil terjadi tanpa adanya backing kuat. Sejumlah pengamat bahkan menyebutnya sebagai bentuk “kolaborasi diam” antara pemodal besar dan oknum di institusi pengawasan.
“Begitu ada upaya membongkar jaringan, semuanya mendadak senyap. Ini pola berulang — ada pihak yang melindungi dari balik layar,” tegas Dr. Sinta Arwani, pengamat kebijakan publik dari CSIS.
Menurutnya, tanggapan Kepala Bea Cukai Batam, Zaky Firmansyah, yang meminta masyarakat mengirimkan lokasi penjualan rokok ilegal untuk ditindak, justru memperlihatkan lemahnya sistem intelijen lembaga tersebut.
> “Kalau masyarakat yang harus melapor, apa fungsi intelijen dan operasi rahasia mereka? Penegakan hukum tidak boleh reaktif, tapi berbasis investigasi,” tambahnya.
Program nasional Gempur Rokok Ilegal yang digagas Kementerian Keuangan seharusnya menjadi gerakan serius dalam menjaga penerimaan negara. Namun di Batam, kebijakan itu justru macet di tengah jalan.
Rokok tanpa cukai terus beredar, distribusi lintas pulau tidak pernah terputus, dan tidak ada laporan transparan tentang penindakan yang menyentuh aktor utama di balik bisnis gelap ini.
“Batam kini menjadi contoh nyata kegagalan reformasi pengawasan fiskal. Ini bukan sekadar lemahnya aparat, tapi kegagalan sistemik,” ungkap pakar fiskal Universitas Airlangga.
Gelombang kritik kini datang dari berbagai arah — mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil. Mereka menuntut evaluasi total terhadap kinerja Bea Cukai Batam dan kepemimpinan Zaky Firmansyah.
Beberapa tuntutan yang mengemuka antara lain:
Transparansi penuh terhadap hasil operasi dan jalur distribusi yang diungkap.
Penindakan nyata terhadap pemodal besar dan jaringan gudang distribusi.
Reformasi internal Bea Cukai Batam agar tidak menjadi alat kepentingan kelompok tertentu.
> “Kalau tidak mampu memutus rantai mafia rokok ilegal, lebih baik mundur dengan terhormat. Batam butuh aparatur tegas, bukan pencitraan,” tegas salah satu tokoh ormas di Kepri.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menegaskan kebijakan zero tolerance terhadap rokok ilegal. Namun, kegagalan Batam menjadi bukti bahwa komitmen pusat belum sepenuhnya berjalan di lapangan.
Publik kini menanti tindakan konkret pemerintah pusat: apakah akan turun langsung menertibkan aparat di Batam, atau kembali membiarkan kota ini menjadi “surga rokok ilegal” yang dilindungi oleh sistem yang lemah?
Jika tidak ada langkah tegas dalam waktu dekat, kepercayaan publik terhadap institusi pengawasan fiskal akan tergerus — dan Batam akan terus menjadi simbol kegagalan perang melawan rokok ilegal di Indonesia.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar