Batam, investigasi. Info - Aktivitas cut and fill yang diduga ilegal di Jalan Hang Kesturi, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, tidak dapat dipandang sebagai peristiwa terpisah. Karena tujuan akhirnya sama, yakni penyediaan material timbunan untuk reklamasi pesisir, maka aktivitas di Kabil dan dugaan reklamasi di Tanjung Uma diduga merupakan satu rangkaian kegiatan yang saling terhubung.
Warga Kabil mengeluhkan debu tebal, lumpur di badan jalan, serta aktivitas dump truck bermuatan tanah yang beroperasi tanpa papan informasi proyek. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait legalitas kegiatan dan pengawasan instansi berwenang. Karena fokus utama kegiatan diduga bukan penataan lahan, melainkan pengiriman material tanah, maka aspek keselamatan warga dan lingkungan dinilai terabaikan.
Dugaan tersebut menguat setelah seorang sopir dump truck mengungkapkan bahwa tanah hasil cut and fill di Kabil dikirim ke kawasan Tanjung Uma. Fakta ini menjelaskan mengapa aktivitas penggalian tetap berlangsung meski menuai protes, karena tanah tersebut dibutuhkan dalam volume besar untuk kepentingan penimbunan dan reklamasi pesisir.
Tanjung Uma dikenal sebagai kawasan pesisir yang memiliki ekosistem mangrove dan rentan terhadap reklamasi ilegal. Karena membutuhkan material timbunan dalam jumlah besar, maka aktivitas cut and fill di daratan diduga dijadikan sumber pasokan utama. Dalam konteks ini, Kabil menjadi hulu produksi material, sementara Tanjung Uma menjadi hilir pemanfaatan.
Berdasarkan penelusuran lapangan, reklamasi di pesisir Tanjung Uma diduga melibatkan PT Limas Raya Griya sebagai pengembang, sementara PT Sarana Usaha Gemilang disebut mengendalikan distribusi material tanah timbunan. Keterkaitan ini memperkuat dugaan bahwa kedua aktivitas tersebut dijalankan dengan tujuan yang sama, namun berlangsung tanpa transparansi dan di luar pengawasan resmi.
Minimnya papan proyek, tidak adanya kejelasan izin lingkungan, serta pola distribusi material yang terarah menunjukkan bahwa aktivitas ini bukan insidental, melainkan terencana. Karena satu tujuan ekonomi dijalankan tanpa kepatuhan hukum, maka warga Kabil menanggung dampak sosial, sementara pesisir Tanjung Uma terancam rusak secara ekologis.
Langgar Hak Konstitusional dan Undang-Undang
Secara konstitusional, dugaan praktik ini bertentangan dengan:
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.
Selain itu, aktivitas cut and fill, distribusi tanah timbunan, dan reklamasi tanpa izin berpotensi melanggar:
Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009, kewajiban memiliki izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL).
Pasal 69 ayat (1) UU yang sama, larangan melakukan perbuatan yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Pasal 98 dan 99 UU No. 32 Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009, bagi pelaku usaha tanpa izin lingkungan.
PP No. 22 Tahun 2021, yang mewajibkan persetujuan lingkungan dan izin khusus untuk kegiatan reklamasi, terutama di kawasan pesisir dan mangrove.
Aktivitas yang terindikasi sebagai bagian dari praktik mafia tanah dan kejahatan lingkungan terorganisir ini menuntut penanganan serius. Karena hulu dan hilirnya saling terhubung, maka penegakan hukum tidak boleh dilakukan secara parsial. BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta Ditreskrimsus Polda Kepri didesak mengusut seluruh rantai kegiatan, mulai dari sumber galian, jalur distribusi, hingga lokasi reklamasi.
Jika pembiaran terus terjadi, maka praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai hak konstitusional warga dan meninggalkan warisan kerusakan lingkungan jangka panjang bagi Kota Batam.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar