Batam, investigasi.info - Publik kembali dikejutkan dengan temuan 73 kontainer berisi limbah elektronik ilegal yang masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Batu Ampar, Batam, pada 22–27 September 2025. Limbah berbahaya asal Amerika Serikat (AS) itu berisi berbagai komponen elektronik bekas seperti CPU, printer circuit board (PCB), kabel, hard disk, dan karet kawat yang dikategorikan sebagai limbah B3 beracun dan berbahaya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memastikan seluruh kontainer tersebut merupakan barang ilegal dan akan segera dire-ekspor kembali ke Amerika Serikat. Pemerintah menegaskan tidak akan mentolerir praktik impor limbah berbahaya ke Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan bahwa Indonesia harus dilindungi dari ancaman limbah B3 yang bisa merusak ekosistem dan membahayakan kesehatan masyarakat. “Pemerintah tegas melindungi lingkungan hidup dari ancaman limbah berbahaya dan beracun. Siapa pun yang terbukti melakukan impor ilegal akan diproses hukum dan dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujarnya, Senin (6/10/2025).
Dari hasil pemeriksaan fisik bersama Bea dan Cukai Batam, diketahui bahwa kontainer-kontainer tersebut merupakan milik PT Logam Internasional Jaya, PT Esun Internasional Utama Indonesia, dan PT Batam Battery Recycle Industry. Ketiga perusahaan ini diduga kuat menjadi bagian dari jaringan impor limbah ilegal yang mencoba memanfaatkan celah pengawasan di wilayah pelabuhan.
Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH/BPLH, Irjen Pol. Rizal Irawan, menegaskan bahwa kasus ini akan dibawa ke ranah pidana. “Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke wilayah Indonesia dapat dipidana penjara lima hingga lima belas tahun dan denda Rp5 hingga Rp15 miliar. Kami tidak akan biarkan negeri ini jadi tempat pembuangan limbah dunia,” tegasnya.
Kasus ini menambah panjang catatan hitam persoalan lingkungan di Batam. Selain limbah, kota industri ini juga sering disorot karena reklamasi ilegal dan pencemaran laut. Lemahnya pengawasan pelabuhan membuat Batam rawan dijadikan pintu masuk bagi praktik impor ilegal.
Aktivis lingkungan di Batam mendesak aparat untuk tidak hanya mengembalikan limbah, tetapi juga mengusut tuntas dalang dan jaringan yang terlibat. “Batam bukan tempat pembuangan sampah dunia. Jangan hanya re-ekspor, tapi hukum pelakunya sampai ke akar,” ujar seorang pemerhati lingkungan.
Kasus ini jelas melanggar Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara lima hingga lima belas tahun dan denda miliaran rupiah. Pemerintah diminta tegas agar kejadian serupa tidak terus berulang dan Batam tidak lagi menjadi gerbang masuk limbah beracun dunia.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar