Reklamasi di Pesisir Kampung Panau, Batam, Kepulauan Riau. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.
Batam,investigasi.info — Skandal reklamasi ilegal kembali mencuat di Kota Batam. Perusahaan baja asal Singapura, PT. Blue Steel Industries (BSI), kedapatan melanjutkan reklamasi laut di Kampung Panau, Kabil, Kecamatan Nongsa, meski telah disegel berulang kali oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait. Kegiatan reklamasi seluas lebih dari 20 hektare di bibir pantai Kabil itu dilakukan tanpa mengantongi izin lingkungan (AMDAL) maupun Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, menegaskan bahwa aktivitas PT. Blue Steel ilegal secara administratif dan lingkungan. “Mereka melakukan kegiatan tanpa memiliki izin reklamasi,” ujarnya, Jumat (3/10). DLHK Kepri mencatat lokasi reklamasi tersebut sudah disegel sejak Februari 2025, namun perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya. Bahkan hasil pantauan terbaru menunjukkan penimbunan tanah dan batu terus dilakukan di kawasan pesisir Kampung Panau. “Silakan koordinasi dengan BP Batam karena sesuai PP Nomor 25 Tahun 2025, kewenangan pengawasan reklamasi kini ada di BP Batam,” tambahnya.
Jejak pelanggaran PT. Blue Steel bukan hal baru. Pada Mei 2023, KKP menghentikan sementara kegiatan reklamasi karena belum mengantongi izin PKKPRL. Desember 2023, PSDKP kembali menyegel lokasi setelah perusahaan melanjutkan penimbunan laut tanpa izin sah. Februari 2025, DLHK Kepri turun tangan dan melakukan penyegelan ulang karena pelanggaran serupa. Namun fakta di lapangan menunjukkan, segala sanksi hanya jadi formalitas. Setelah segel dicabut, kegiatan penimbunan laut kembali berlangsung bahkan lebih masif dari sebelumnya.
Perusahaan ini dipimpin oleh Benny Lau selaku Direktur Utama dan Alhadid Endar Putra sebagai Legal Director. BSI mengklaim membawa investasi senilai Rp 3,5 triliun di Batam dan menjanjikan 3.000 lapangan kerja di kawasan industri Taiwan Kabil. Namun di balik narasi investasi besar, terselip praktik yang mengabaikan regulasi lingkungan. Perusahaan tetap melakukan reklamasi tanpa menyelesaikan izin lingkungan, bahkan setelah ditegur dan dikenai sanksi administratif oleh pemerintah pusat.
Aktivitas reklamasi tanpa kajian AMDAL berpotensi merusak habitat biota laut, mangrove, dan ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan nelayan lokal. Warga sekitar Kampung Panau mengaku kehilangan area tangkapan ikan dan melihat air laut berubah keruh akibat tumpahan tanah reklamasi. “Dulu kami bisa dapat ikan di sini, sekarang airnya coklat dan dangkal. Kami kehilangan tempat mencari rezeki,” ujar seorang nelayan setempat.
Aktivitas PT. Blue Steel diduga melanggar Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Pasal 17 UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Kedua regulasi ini menegaskan bahwa setiap kegiatan reklamasi wajib memiliki izin lingkungan dan PKKPRL sebelum dimulai.
Sumber internal di lapangan menyebut, aktivitas PT. Blue Steel tetap berjalan karena ada pihak-pihak tertentu yang memberi perlindungan politik dan birokratis. Dugaan ini memperkuat asumsi publik bahwa reklamasi ilegal di Batam bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan jaringan kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Aktivis lingkungan mendesak Direktorat Jenderal Gakkum KLHK dan PSDKP KKP segera mengambil alih penegakan hukum terhadap PT. Blue Steel. Mereka menilai BP Batam berpotensi menutup mata karena memiliki kepentingan dalam pengembangan kawasan industri Kabil.
“Kalau reklamasi tanpa izin dibiarkan, ini preseden buruk bagi Batam dan Kepri. Investasi tak boleh jadi alasan untuk menghancurkan laut,” tegas seorang pegiat lingkungan dari Nongsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar