Iklan

DAFTAR WARTAWAN DISINI oleh redaksi investigasi
Mr w
Kamis, 04 Desember 2025, Desember 04, 2025 WIB
Last Updated 2025-12-04T01:47:01Z

Jangan Tunggu Batam Alami Bencana seperti Sumbar dan Sumut: Reklamasi Masif & Penimbunan Mangrove Kian Mengkhawatirkan



Batam, investigasi. Info - Sejumlah pemerhati lingkungan mengingatkan Pemerintah Kota Batam agar tidak menunggu terjadinya bencana ekologis seperti banjir bandang di Sumatera Barat dan Sumatera Utara sebelum bertindak tegas. Pasalnya, aktivitas reklamasi dan penimbunan mangrove di berbagai titik di Batam terus berlangsung dan dinilai semakin tidak terkendali.


Dalam beberapa tahun terakhir, Batam menjadi salah satu daerah dengan percepatan pembangunan kawasan pesisir yang sangat agresif. Namun, perkembangan tersebut dibarengi dengan penghilangan hutan mangrove, pemotongan bukit, serta reklamasi tanpa transparansi dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).


Reklamasi di Batam Bukan Isu Baru — Tapi Semakin Masif


Pantauan lapangan dan laporan berbagai komunitas lingkungan mencatat sejumlah lokasi dengan aktivitas reklamasi maupun penimbunan mangrove yang menonjol, di antaranya:


Kawasan Tanjung Uma

Penimbunan yang terus berlanjut diduga melebar dari izin awal. Warga setempat mengaku air pasang kini semakin tinggi dan masuk ke permukiman.


Piayu & sekitarnya

Daerah resapan air mengalami perubahan bentang alam; pembukaan lahan dilaporkan berlangsung siang dan malam.


Lubuk Baja – Bengkong

Dua kawasan padat penduduk ini masuk kategori paling rawan banjir jika ekosistem mangrove hilang. Aktivitas penimbunan di beberapa titik menimbulkan protes warga.


Sejumlah proyek pengembang perumahan

Banyak dijalankan tanpa fasilitas pengendalian drainase yang memadai, sehingga limpahan air lari ke pemukiman dan jalan raya.



Mangrove Hilang, Risiko Banjir dan Abrasi Meningkat


Para ahli ekologi pesisir menegaskan bahwa mangrove adalah garis pertahanan pertama menghadapi gelombang, pasang tinggi, dan badai. Ketika mangrove ditebang dan garis pantai ditimbun, maka beberapa risiko meningkat drastis:


1. Banjir saat hujan ekstrem — tanah tidak lagi mampu menyerap limpasan air.



2. Abrasi pantai — wilayah pesisir jadi rapuh dan mudah tergerus.



3. Rob lebih sering — naiknya muka air laut langsung masuk ke daratan.



4. Kualitas air menurun — pencemaran meningkat akibat hilangnya penyaring alami.




Kondisi ini sangat mirip pola yang terjadi di daerah-daerah yang kemudian dilanda bencana besar, seperti yang baru-baru ini menimpa Sumbar dan Sumut.


Peringatan untuk Pemerintah: Jangan Sibuk Setelah Bencana Terjadi


Aktivis menilai Pemko Batam dan BP Batam belum menunjukkan konsistensi dalam menertibkan reklamasi yang melanggar. Berbeda dengan awal masa jabatan ketika pejabat turun langsung saat terjadi aktivitas cut and fill ilegal, kini pengawasan dinilai melemah.


Beberapa menyoroti:


minimnya publikasi daftar reklamasi yang memiliki izin resmi,


tidak adanya informasi AMDAL yang bisa diakses publik,


dan seringnya laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti.



“Batam jangan sampai terlambat. Jangan nanti setelah bencana baru semua pihak sibuk menyalahkan satu sama lain. Sekaranglah waktu untuk bertindak,” ujar seorang tokoh masyarakat yang meminta namanya tidak disebut.


Warga Minta Audit Total Reklamasi


Masyarakat dan kelompok pemerhati lingkungan mendesak:


Audit menyeluruh seluruh proyek reklamasi dan penimbunan yang sedang berjalan.


Transparansi izin, terutama lokasi yang berada di atas mangrove.


Penegakan hukum tegas untuk pelaku penimbunan ilegal.


Pemulihan mangrove di titik-titik kritis.



Batam yang dikelilingi laut dan berpenduduk padat tidak memiliki ruang toleransi terhadap kehancuran lingkungan. Jika reklamasi dan penimbunan mangrove tak dikendalikan, bencana hanyalah soal waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar