Iklan

DAFTAR WARTAWAN DISINI oleh redaksi investigasi
Selasa, 16 Desember 2025, Desember 16, 2025 WIB
Last Updated 2025-12-16T05:39:05Z
Kisah nyatakorban pasca bencana

Korban yang Tak Tercatat Pascabencana

 Korban yang Tak Tercatat Pascabencana




Oleh: Ari Astiny Abdiya

Abdiya//investigasi.info

Bencana bukan hanya soal air bah yang datang tiba-tiba, rumah yang hanyut, atau nyawa yang hilang dalam sekejap. Bencana juga tentang kehidupan yang pelan-pelan runtuh setelahnya—saat perhatian mereda, bantuan berhenti, dan negara mulai menganggap situasi telah “normal”.


Perlu ditegaskan sejak awal: ini bukan keluhan karena tidak bersyukur. Bukan pula soal mengeluh gas dan listrik. Apalagi adu nasib dengan kalimat-kalimat simplistik seperti, “Masih mending bisa masak pakai berondolan,” atau “Masih enak ada genset.”

Bukan itu konteksnya.


Ini adalah kritik dan saran atas penanganan pascabencana—khususnya terhadap kelompok masyarakat yang terdampak tidak langsung, namun kehilangan sumber penghidupan.


Gas bukan sekadar urusan dapur rumah tangga. Bagi ribuan pelaku UMKM, pedagang makanan, dan usaha kecil, gas adalah nyawa ekonomi. Ketika distribusi gas tersendat tanpa solusi cepat, yang terjadi bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan penutupan usaha. Warung-warung tutup, penghasilan hilang, dan keluarga kehilangan sumber nafkah. Mereka tidak mati karena banjir, tidak pula kelaparan hari ini—tetapi mereka sekarat perlahan secara ekonomi.


Hal yang sama terjadi pada listrik dan jaringan internet. Dalam realitas hari ini, listrik dan koneksi bukan lagi fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan dasar produktif. Banyak orang bekerja secara daring, mengikuti ujian, tes, atau menggantungkan penghasilan dari jejaring digital. Ketika listrik padam dan jaringan terputus berhari-hari, mereka kehilangan kesempatan, kehilangan pendapatan, dan kehilangan masa depan jangka pendek. Tidak semua orang mampu membeli genset atau layanan internet alternatif. Dan ironisnya, mereka tidak tercatat sebagai korban karena tidak masuk kategori “terdampak langsung”.


Inilah problem besar penanganan bencana kita: definisi korban yang terlalu sempit. Bantuan sering kali fokus pada dampak fisik yang kasatmata, sementara dampak sosial-ekonomi yang tidak langsung luput dari perhatian. Padahal, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja pascabencana—baik yang terdampak langsung maupun tidak langsung.


Keresahan ini bukan hujatan. Bukan pula provokasi. Ini adalah suara warga yang masih percaya bahwa kritik yang beradab adalah bagian dari kepedulian. Keluhan yang disampaikan dengan etika bukan tanda ketidaksyukuran, melainkan bentuk tanggung jawab sosial agar penanganan bencana lebih adil dan menyeluruh.


Jika ada pihak yang patut dipertanyakan rasa syukurnya, bukanlah mereka yang kehilangan penghasilan dan bertahan hidup dari hari ke hari. Melainkan mereka yang tetap kenyang—bukan oleh sepiring nasi, tetapi oleh kayu-kayu gelondongan, emas-emas, dan tanah-tanah yang terus dieksploitasi, bahkan ketika bencana masih menyisakan luka.


Pascabencana seharusnya menjadi momentum evaluasi, bukan sekadar seremonial empati. Negara dan seluruh pemangku kepentingan perlu memperluas cara pandang: bahwa korban bencana bukan hanya mereka yang tersapu air, tetapi juga mereka yang kehilangan daya hidup setelah air surut.


Karena bencana tidak selalu membunuh dengan cepat.

Sebagian membunuh perlahan—dalam diam.


(Jeritan suara hati seorang ibu;Ari astiny,S.pd.*Abdiya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar