Batam, investigasi. Info -Krisis fiskal di Provinsi Kepulauan Riau bukan lagi isu teknis, melainkan alarm keras kegagalan tata kelola keuangan daerah. Ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) stagnan, belanja pegawai membengkak, dan aset daerah menganggur, publik patut bertanya: siapa yang bekerja, dan siapa yang sekadar menghabiskan anggaran?
Pernyataan tegas Sekretaris Komisi II DPRD Kepri, Wahyu Wahyudin, membuka tabir masalah yang selama ini seolah ditutup rapat. Beban gaji aparatur yang telah menembus lebih dari 30 persen APBD adalah sinyal bahaya. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa struktur anggaran Kepri sedang sakit kronis.
Ironisnya, di tengah kondisi fiskal yang tercekik, OPD penghasil PAD justru tumpul dan minim terobosan. Diskon pajak, penghapusan denda, promosi layanan—langkah-langkah sederhana yang terbukti efektif di banyak daerah—tak dimaksimalkan. Akibatnya, potensi pendapatan bocor bukan karena rakyat tak mau bayar pajak, melainkan karena negara gagal menghadirkan sistem yang memudahkan dan mendorong kepatuhan.
Lebih memprihatinkan lagi, aset daerah dibiarkan mati suri. Tanah kosong, bangunan rusak, gudang tak terpakai—semuanya menganggur tanpa strategi. Padahal, di tengah keterbatasan fiskal, aset adalah modal paling murah untuk dikelola. Namun alih-alih dijadikan sumber pendapatan melalui sewa atau kerja sama investasi, aset-aset itu justru menjadi monumen kelalaian birokrasi.
BUMD pun tak luput dari sorotan. Bukannya menjadi lokomotif ekonomi daerah, sebagian BUMD justru berubah menjadi beban APBD. Tanpa target jelas, tanpa rencana bisnis, dan tanpa evaluasi menyeluruh, BUMD seolah hidup dari suntikan anggaran, bukan dari kinerja. Jika kondisi ini dibiarkan, maka istilah “Badan Usaha Milik Daerah” hanya tinggal nama tanpa makna.
Usulan membentuk unit laboratorium terpadu dari fasilitas yang sudah ada adalah contoh konkret bagaimana daerah seharusnya berpikir: mengoptimalkan yang tersedia, bukan terus mengeluh kekurangan dana. Uji kualitas ikan, tanaman, dan produk kecil bukan hanya layanan publik, tetapi peluang bisnis daerah yang stabil jika dikelola serius.
Pesan intinya jelas: Kepri tidak bisa terus bergantung pada dana pusat. Kemandirian daerah hanya akan tercapai jika PAD dijadikan prioritas utama, bukan pelengkap pidato. Jika OPD dan BUMD tak mampu beradaptasi dan berinovasi, maka evaluasi total bukan ancaman—melainkan keharusan.
Krisis fiskal bukan takdir. Ia adalah hasil dari pilihan. Dan Kepri kini berada di persimpangan: berani berbenah, atau perlahan tenggelam dalam pemborosan yang dilegalkan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar