Fenomena ini bukan sekadar persoalan hiburan malam. Ada persoalan serius yang menyentuh dua dimensi penting, yakni moralitas publik dan integritas hukum. Di satu sisi, hiburan yang menjurus pada tarian erotis jelas bertentangan dengan norma sosial, budaya, dan agama yang dijunjung masyarakat Batam. Di sisi lain, dugaan adanya praktik perjudian bola pimpong merupakan pelanggaran hukum pidana yang ancamannya tidak bisa ditawar.
Konstitusi sudah memberi rambu tegas. UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, termasuk menghormati nilai moral, agama, dan ketertiban umum. Artinya, praktik hiburan malam yang melanggar batas norma jelas bertentangan dengan semangat konstitusi.
Dari aspek hukum positif, KUHP Pasal 303 ayat (1) menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk main judi dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda. Bahkan, Pasal 303 bis KUHP menegaskan bahwa setiap orang yang turut serta dalam perjudian dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda. Dengan dasar ini, dugaan praktik judi bola pimpong di HTM Boombastic jelas masuk ranah tindak pidana, bukan sekadar pelanggaran ringan.
Simbol-simbol khusus seperti istilah “kuburan” untuk menandai malam ladies menambah kuat dugaan bahwa aktivitas ilegal tersebut tidak bersifat spontan, melainkan terorganisir dan sistematis. Artinya, bila aparat memiliki kemauan tegas, penindakan dapat dilakukan dengan cepat dan terukur. Namun, yang tampak justru sebaliknya: aparat seakan tidak berkutik, sementara keresahan masyarakat semakin dalam.
Sebagai negara hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Indonesia menempatkan hukum sebagai panglima. Kepolisian, sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memiliki tugas pokok memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta melindungi dan mengayomi masyarakat. Bila aparat tidak bergerak menghadapi dugaan pelanggaran yang nyata, maka kepercayaan publik terhadap penegakan hukum bisa runtuh.
Kini bola panas berada di tangan Polsek Batu Ampar, Polresta Barelang, hingga Forkompinda Batam. Langkah mereka akan menentukan apakah hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru dibiarkan sehingga stigma hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah semakin kuat.
Satu hal pasti, hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan segelintir pihak. Bila praktik maksiat dan perjudian ini terus dibiarkan, bukan hanya citra aparat yang tercoreng, tetapi juga wibawa hukum di republik ini yang akan terjun bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar