Batam, invetstigasi.info – Aktivitas penambangan pasir di kawasan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, kian tak terkendali. Meski Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan pemberantasan mafia tambang di seluruh Indonesia, kegiatan tambang yang diduga ilegal di wilayah ini justru semakin marak. Setiap hari, truk-truk besar pengangkut material tampak hilir-mudik keluar masuk lokasi tambang, menimbulkan debu pekat yang membahayakan pengguna jalan dan mengotori pemukiman warga sekitar.
Pantauan di lapangan menunjukkan sejumlah titik di Nongsa dijadikan lokasi penggalian pasir secara terang-terangan. Aktivitas berlangsung sejak pagi hingga sore hari, bahkan ada yang beroperasi hingga malam. Puluhan mesin penyedot pasir terlihat aktif mengisap material dari lahan yang seharusnya menjadi area hijau. Di beberapa titik, tampak tumpukan pasir hasil tambang siap diangkut menggunakan truk besar menuju kawasan industri dan proyek konstruksi di Batam.
Sejumlah pekerja yang ditemui di lokasi enggan memberikan komentar. Mereka hanya mengatakan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan atas perintah pemilik usaha.
> “Kami cuma kerja, bang. Soal izin, saya tidak tahu,” ujar salah satu pekerja singkat sambil menghindari kamera.
Sopir truk pun bersikap serupa, menolak diwawancarai dan langsung meninggalkan lokasi setelah menurunkan muatan.
Masyarakat sekitar merasa resah dengan kondisi tersebut. Selain debu yang beterbangan dan kebisingan dari mesin berat, aktivitas tambang juga diduga menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas air di sekitar pemukiman. Beberapa warga mengaku telah berulang kali melapor ke pihak berwenang, namun tidak pernah ada tindakan tegas.
> “Sudah pernah ada razia, tapi cuma sebentar. Setelah itu jalan lagi, kayak sudah biasa aja,” ujar seorang warga Nongsa yang meminta identitasnya disembunyikan.
Dari hasil penelusuran, aktivitas tambang ini diduga melibatkan sejumlah pihak yang memiliki “koordinasi” dengan oknum tertentu. Dugaan adanya setoran keamanan atau perlindungan dari pihak berpengaruh mencuat di kalangan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa meski aktivitas tambang dilakukan secara terbuka, aparat penegak hukum dan instansi teknis seolah menutup mata.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentolerir adanya mafia tambang di Indonesia. Instruksi tegas itu semestinya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk bertindak. Namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya—di Batam, instruksi Presiden seolah tidak berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap kegiatan tambang wajib memiliki izin resmi dari pemerintah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dijerat pidana penjara hingga lima tahun dan denda mencapai miliaran rupiah. Namun, penegakan aturan tersebut tampaknya belum menyentuh aktivitas tambang di Nongsa.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas ESDM, maupun aparat kepolisian terkait aktivitas tambang di Nongsa. Publik pun kini bertanya-tanya: apakah hukum di Batam benar-benar bisa ditegakkan, ataukah kepentingan ekonomi segelintir pihak lebih berkuasa dari instruksi Presiden?
Jika kondisi ini terus dibiarkan, Batam berpotensi menghadapi kerusakan lingkungan jangka panjang. Lubang-lubang bekas tambang dikhawatirkan menimbulkan longsor, pencemaran air tanah, serta mengancam keselamatan warga di sekitar lokasi. Masyarakat menunggu langkah nyata pemerintah—bukan sekadar janji atau instruksi—untuk menghentikan praktik tambang ilegal yang terus menggerogoti keindahan dan keseimbangan lingkungan Nongsa.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar